Langsung ke konten utama

Seputar Masuk ke Tempat Peribadatan Non-Muslim


Menyikapi perbedaan pendapat yang terjadi diantara Kaum Muslimin mengenai isu-isu yang beredar belakangan ini, ijinkanlah penulis menyusun suatu tulisan mengenai masuknya Orang Muslim ke tempat peribadatan Non-Muslim agar kaum muslimin bisa memendang sesuatu dengan lebih subjektif dan didukung dengan data-data yang kongkrit.

Mengenai hukum seorang Muslim masuk ke tempat peribadatan Non-Muslim untuk suatu tujuan tertentu (Selain mengikuti peribadatan) Seperti misalnya, duduk-duduk, istirahat, penasaran dengan isinya, maka para Ulama terbagi pada empat pendapat :

1. Pendapat pertama melarang seorang muslim masuk dalam tempat peribadatan Non-Muslim seperti Sinagong dan Gereja. Inilah yang diyakini oleh Madzhab Imam Abu Hanifah. Bukan karena dia tidak memiliki hak untuk masuk, tetapi karena itu adalah tempatnya para setan berkumpul. (1)

Ibnu Nujaim Al-Mishri Al-Hanafi Berkata : "Seorang muslim dilarang untuk memasuki Sinagong dan Gereja, karena itu adalah tempatnya para setan berkumpul." (2)

Pendapat ini sebenarnya kurang dikuatkan oleh dalil-dalil yang jelas. Adapun bila mereka menggunakan dalil bahwa malaikat tidak masuk ke rumah yang ada patung dan anjingnya. Maka tidak ada pula dalil yang tegas mengatakan bahwa tidak masuknya malaikat kedalam rumah adalah suatu keharaman. (3)

2. Pendapat kedua membolehkan seorang Muslim masuk ke tempat peribadatan Non-Muslim dan ini adalah pendapat sebagian Madzhab Maliki (4), Sebagian Madzhab Syafi'i, dan Mayoritas Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. (5)

Imam Al-Mardawi Rahimahullah Berkata : "Seorang Muslim boleh memasuki Sinagong dan Gereja." (6)

Mereka berdalil dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Ibunda Aisyah Radhiyallahu 'Anha, Bahwa suatu hari Ummu Salamah menceritakan isi Gereja yang pernah ia masuki di Habasyah (Etiopia) yang bernama Gereja Maria. Ia juga menceritakan banyaknya gambar dan patung-patung didalamnya. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, 


"Mereka (Orang Nasrani) adalah kaum yang suka membangun tempat peribadatan diatas kuburan para orang-orang Shalih dari kalangan mereka, lalu mereka buatkan patung-patung yang menyerupai orang-orang Shalih itu." (7)

Dari hadist ini kita bisa mendapatkan suatu kesimpulan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak menegur Ummu Salamah yang pernah masuk ke dalam Gereja. Bila masuk ke tempat peribadatan Non-Muslim seperti Gereja itu adalah haram, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pasti akan menegurnya dan memberitahunya agar ia tidak masuk lagi kesana. (8) 


Metode pengambilan kesimpulan semacam ini, biasa kita istilahkan sebagai Sunnah Taqririyah (Jika Rasulullah diam atas suatu perkara, maka pertanda jawaz atau mubah) sebagaimana dijelaskan dalam Kitab-kitab Ushul Fiqh.

3. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Seorang Muslim tidak boleh masuk ke tempat peribadatan Non-Muslim kecuali sudah mendapatkan izin dari orang-orang disana. Dan ini adalah pendapat Sebagian Pengikut Madzhab Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i. (9)


4. Pendapat ke-empat mengatakan bahwa seorang Muslim tidak boleh masuk ke tempat peribadatan Non-Muslim secara mutlak. Dan ini adalah pendapat Sebagian Pengikut Madzhab Maliki (10) dan Hanbali. (11)

Mereka mengatakan bahwa tempat peribadatan Non-Muslim adalah Najis, banyak patung, dan tempat berkumpulnya setan (12). Dan penulis katakan disini bahwa illah haramnya perbuatan tersebut karena Najis maka tidak bisa dibenarkan. Karena kaidah utamanya, setiap sesuatu adalah suci, kecuali bila ada kotoran yang menyebabkannya najis. Apabila mereka mengharamkan karena banyaknya patung, maka tidak ada dalil yang jelas mengenai keharaman memasuki bangunan yang terdapat patung didalamnya, sebagaimana yang diterangkan di pendapat pertama. (13)

Pendapat yang paling rajih adalah pendapat yang memiliki dalil yang jelas seperti pendapat kedua. Maka diperbolehkan bagi seorang muslim untuk memasuki tempat peribadatan Non-Muslim selain untuk mengikuti ritual keagamaa. Misalnya seperti beristirahat, duduk-duduk, atau bahkan berdakwah kepada orang-orang didalamnya untuk kembali ke jalan Allah. (14)

Adapun untuk mengikuti ritual didalam tempat-tempat peribadatan tersebut maka para Ulama sepakat melarangnya dengan dalil induk dalam Al-An'am ayat 68. (15)"


Rujukan :

1. Hasyiah Ibnu Abdin, Ibnu Abdin, Jilid 5 Hal. 248

2. Al-Bahru Ar-Raiq, Ibnu Nujaim Al-Mishri, Jilid 8 Hal. 232

3. An-Nafa'is Fi Ahkam Al-Kana'is, Sayyid bin Hamudah, Jilid 1, Hal. 184

4. Al-Mudawwanah, Imam Malik bin Anas, Jilid 2, Hal. 354

5. Jawahir Al-Iklil, Shalih Abdussami' Al-Azhari, Jilid 1, Hal. 383

6. Al-Inshaf Fi Ma'rifati Ar-Rajih Min Al-Khilaf, Abul Hasan Al-Mardawi, Jilid 1, Hal. 349

7. Shahih Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Al-Bukhari No. 434

8. An-Nafa'is Fi Ahkam Al-Kana'is, Sayyid bin Hamudah, Jilid 1, Hal. 184

9. Hasyiah Al-Jamal, Sulaiman Al-Jamal, Jilid 3, Hal. 572

10. Al-Mudawwanah Al-Kubra, Imam Malik bin Anas, Jilid 1, Hal. 182

11. Al-Inshaf Fi Ma'rifati Ar-Rajih Min Al-Khilaf, Abul Hasan Al-Mardawi, Jilid 3, Hal. 313

12. Hasyiah Ibnu Abdin, Ibnu Abdin, Jilid 5 Hal. 248

13. An-Nafa'is Fi Ahkam Al-Kana'is, Sayyid bin Hamudah Jilid 1, Hal. 185

14. An-Nafa'is Fi Ahkam Al-Kana'is, Sayyid bin Hamudah, Jilid 1, Hal. 185

15. Ahkam Ahlu Adz-Dzimmah, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah, Jilid 2 Hal. 722



Wallahu A'lam Bis Shawab, Hanya Allah yang mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

Yang bertanggung jawab atas tulisan ini, Dzikri Muhammad.





Komentar